Kita yang maha Serakah

Kita yang maha Serakah

Oleh : Nanang Fahrudin

Kenapa bayi dilahirkan dengan tangan menggenggam kuat?. Padahal tak ada sama sekali sesuatu yang digenggamnya?. Pertanyaan itu muncul dari seorang Kyai saat memberikan ceramah kepada ratusan orang yang duduk rapi di depannya. Sang Kyai pun menjawab sendiri pertanyaannya : karena sifat manusia sebenarnya adalah serakah. Genggaman itu sebagai isarat, bahwa manusia ingin selalu menggenggam dunia.
Ya, jawaban Kyai itu memang sederhana, lugas, tapi sangat dalam maknanya. Kyai itu melanjutkan pitutur-nya, bahwa saat manusia menemui ajal tak ada yang mati dengan tangan menggenggam. “Itu isarat bahwa manusia tak kan mampu menggenggam dunia ini. Bahkan sampai matipun”. Kira-kira begitu kata sang Kyai melanjutkan pembicaraannya.
Boleh jadi, kata-kata Kyai itu merujuk pada keserakahan manusia yang terus menjadi-jadi. Keserakahan akan materi yang tiada batasnya. Seorang pejabat, akan merasa merugi jika tidak mendapatkan fee dari proyek negara. Seorang pengusaha akan merasa rugi jika kalah tender sebuah proyek. Betapa makna “rugi” telah bergeser, hanya untuk memenuhi hasrat keserakahan manusia.
Makna lainnya, manusia saat ini selalu ingin menggambar masa depannya dengan menumpuk harta benda. Masa depan adalah kekayaan materi yang bisa diwariskan kepada anak-cucunya. Masa depan harus bisa dihadirkan saat ini. Akibatnya keserakahan memunculkan sifat individualisme yang keterlaluan. Individualisme yang buta akan manusia lain yang membutuhkan.
Keserakahan itu pulalah yang menyuburkan kapitalisme. Sebuah sistem sosial yang hanya menekankan pada sisi keuntungan. Semua dihitung pada wilayah untung dan rugi. Lihat saja, masyarakat sekitar kita, atau mungkin tepatnya diri kita sendiri. Betapa setiap hari diri kita dikejar-kejar oleh ketakutan akan hidup kekurangan. Ketakutan itu kemudian memunculkan keberanian untuk mencuri, menilep, merampas hak orang lain.
Keberanian mencuri, menilep dan merampas itulah yang kini banyak dipegang oleh siapapun. Dan mungkin, bisa jadi diri kita sendiri. Tapi, manusia adalah makhluk rasional. Artinya, keberanian (tanda kutip lho) itu lalu dirasionalisasi. Mencuri uang rakyat bukan sebuah kesalahan, karena itu sudah sesuai dengan aturan yang ada. Menilep uang perusahaan bukan sesuatu yang salah, karena tak hanya dirinya yang melakukan, melainkan banyak orang. Merampas bukan sesuatu terlarang karena, hasil rampasan itu untuk membangun sekolah, yayasan, panti sosial, dan sebagainya yang tujuannya untuk membantu masyarakat bawah juga.
Lebih parah lagi, kecenderungan sistem sosial saat ini, bahwa kapitalisme telah menjalin hubungan dengan organisasi. Maksudnya, tak hanya perusahaan yang secara nyata mencari keuntungan. Melainkan, hampir semua organisasi mengarah ke pencarian keuntungan, baik untuk dirinya sendiri atau untuk organisasi. Kalau sudah begitu, manusia secara individu sudah tak memiliki kekuatan sama sekali. Terkalahkan oleh organisasi, karena menganggap dirinya mewakili kepentingan umum.
Organisasi politik misalnya, akan selalu mengatakan apa yang dilakukannya adalah untuk kepentingan umum, didukung oleh masyarakat umum, dan demi mensejahterakan masyarakat umum. Padahal, bisa jadi apa yang dilakukan sebenarnya untuk kepentingan pribadi dan jauh dari sifat umum tadi. Organisasi berperan mengaburkan kepentingan pribadi itu untuk mendapatkan topeng kepentingan umum. Jika kepentingan umum yang mengemuka, maka mau tidak mau, masyarakat bisa menerimanya. Sebuah logika yang terbolak-balik.
Mungkin kita perlu mendengarkan kelanjutan apa yang disampaikan oleh Kyai di atas. Bahwa, manusia hidup tak pernah memiliki apa-apa. Semua akan bergerak bergantian. Saat ini, kita memiliki tanah, rumah, kendaraan, dan lainnya, tapi suatu saat rumah, tanah atau apapun akan pindah ke orang lain. Minimal kepada anak cucu kita. Jadi, kata sang Kyai itu, manusia hakekatnya tak pernah memiliki apapun di dunia ini.
Akhirul Kalam, kita perlu berpikir ulang tentang tujuan hidup kita.

(Dimuat buletin BACA! edisi IV Nopember 2009)